Beranda | Artikel
Sebab Pembangkangan Anak Kepada Orang Tua Dan Penangangannya
Selasa, 26 Februari 2019

SEBAB PEMBANGKANGAN ANAK KEPADA ORANG TUA DAN PENANGANANYA

Pertanyaan
Saya ingin berbicara tentang masalah penting, yaitu ketidakpedulian anak terhadap kondisi orang tua. Saya berusia 23 tahun memiliki beberapa saudara. Di antara saudara saya adalah seorang gadis berusia 20 tahun. Akan tetapi sayang sekali dia tidak peduli kondisi ayah yang sedang kesulitan ekonomi sementara saudara saya ini selalu berkata saya ingin ini dan itu. Saya tidak ada hubungannya dengannya bahkan walaupun dia meminta dari orang lain, saya memiliki hak atasnya. Demi Allah, kondisi ayah saya sangat memprihatinkan karena keinginan anak-anaknya dengan kondisi yang dia sedang alami. Apa pendapat anda tentang hal ini? Apa nasehat anda kepada anak-anaknya? Apakah sikap tersebut masuk dalam kriteria durhaka ataukah masih ada penafsiran lain? Perlu dia ketahui bahwa saudara saya ini sering membuat ayah jengkel dan saya tidak tahu bagaimana saya mensikapinya?

Jawaban
Alhamdulillah.

Pertama : Sikap anak gadis yang selalu mengeluh dan meradang di hadapan orang tuanya tak lain karena salah satu dari dua sebab; Apakah sebab agama dan keimanan ataukah sebab kejiwaan dan prilaku.

Adapun sebab syariat (agama) dan keimanan, problemnya dapat disimpulkan menjadi dua bagian; Pertama; Berkaitan dengan lemah atau cacatnya gambaran seorang anak terhadap kedudukan orang tua dalam Islam serta apa kewajiban yang mereka miliki yang menjadi hak-hak orang tuanya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَجْزِي وَلَدٌ وَالِدَهُ ، إِلَّا أَنْ يَجِدَهُ مَمْلُوكًا فَيَشْتَرِيَهُ فَيُعْتِقَهُ

Seorang anak tidak akan dapat membalas budi orang tuanya kecuali jika dia dapati orang tuanya dalam keadaan sebagai budak lalu dia membelinya kemudian dia memerdekakannya.” [HR. Muslim, no. 1510]

Dari Abdullah bin Amr radhiallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ (رواه الترمذي، رقم 1899 وصححه الألباني)

Ridha Allah tergantung ridha orang tua, murka Allah tergantung murka orang tua.” [HR. Tirmizi, no. 1899, dishahihkan oleh Al-Albany]

Maka betapapun terjadi kesalahpahaman atau prilaku antara orang tua dan anak, anak tetap harus memperlakukan kedua orang tuanya dengan baik. Bahkan walaupun perbedaannya terkait dengan pokok agama dan prinsip-prinsip kenabian lalu orang tua bersungguh-sungguh kepada anaknya agar berbuat syirik, hal itu bukan penghalang bagi anak untuk memenuhi hak orang tuanya dan merawat hak tersebut untuk orang tuanya.

Allah Taalah berfirman,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ * وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ 

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.  Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Luqman/31: 14-15]

Kesimpulan : Berbicara dan berdiskusi dengan kedua orang tua tidak sebagaimana berbicara dengan selain keduanya. Karena kita diperintahkan untuk rendah hati di hadapan keduanya, melembutkan pembicaraan dan merendahkan suara tenang dalam sikap anggota badan serta tidak menghardiknya dan menghalanginya dari perkara mubah yang dia senangi.

Allah Taala berfirman,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا * وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا 

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah,”Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” [Al-Isra/17: 23-24]

Allah Taala mengumpamakan sikap rendah hati terhadap kedua orang tua seperti burung yang mengempit sayapnya dengan hina saat menghadapi sesuatu yang menakutkannya dari jenis burung yang lebih kuat darinya.

Dari Husyam bin Urwah dari bapaknya dia berkata (tentang ayat berikut),

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ

Dia berkata, (maknanya adalah) Jangan halangi dia dari sesuatu yang dia senangi. [HR. Bukhari dalam kitab Al-Adabul Mufrad, bab Liinul kalam Lil Walidain (perkataan lembut terhadap kedua orang tua) dishahihkan oleh Al-Albany].

Kedua : Di antara perkara penting yang menyebabkan problem ini adalah seperti yang telah anda sebutkan dalam pertanyaan, yaitu banyaknya anak yang tidak dapat menerima hidup dalam kondisi yang mereka alami, mereka tidak di didik untuk ridha terhadap bagian Allah kepada mereka serta bagian mereka dalam urusan dunia. Mereka selalu melihat orang yang lebih baik dari mereka dalam masalah rizki lalu menuntut dirinya seperti mereka tanpa punya kemampuan untuk itu, baik dari dirinya, atau juga dari keluarganya. Maka hal tersebut menggirinya untuk selalu meratapi keadaannya, mengeluh dan tidak ridha dengan ketentuan yang berlaku terhadapnya.

Allah Taala berfirman,

وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى 

Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal. [Thaha/20: 131]

Syekh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah jangan kalian lepaskan pandangan dalam keadaan kagum dan jangan berulang-ulang memandangnya seraya menganggap indah keadaan dunia dan orang-orang yang menikmatinya, baik berupa makanan dan minuman lezat, pakaian mewah, rumah megah, wanita cantik. Karena semua itu hanyalah kembang dunia yang menyenangkan jiwa-jiwa terpedaya dan merebut hati orang-orang yang lengah dan dinikmati oleh orang-orang yang zalim. Kemudian setelah itu secepat kilat akan hilang, para pengagumnya akan mati dan mereka akan selamat di saat tidak bermanfaat penyesalan dan mereka akan mengetahui apa yang akan mereka tanggung di hari kiamat. Sesungguhnya dunia dijadikan fitnah dan ujian, untuk diketahui siapa yang tidak tergoda dan siapa yang terpedaya dan siapa yang paling baik amalnya. Sebagaimana firman Allah Taala;

إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الأرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلا * وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا

Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. Dan Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah yang tandus lagi kering.” [Al-Kahfi/18: 7-8]

Yang dimaksud dengan ‘rezeki tuhanmu’ maksudnya adalah yang sifatnya segera, baik berupa ilmu, iman dan amal saleh, atau yang diberikan kemudian, seperti kenikmatan dan kehidupan yang bahagia di sisi Tuhan. Itu adalah kenikmatan yang lebih baik dan lebih abadi, tidak terputus, sebagaimana firman Allah Taala,

بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

Tetapi kalian (orang-orang kafir) lebih memilih kehidupan dunia. Padahal kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal.” [Al-A’la/87: 16-17]

Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa seorang hamba jika melihat ada kecondongan dan kesungguhan dalam dirinya terhadap perhiasan dunia hendaknya dia ingat bahwa di hadapannya terhadap rizki tuhannya dan hendaknya dia membandingkan antara yang ini dengan yang itu.” [Tafsir As-Sa’dy, no. 516]

Dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللهِ – قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ – عَلَيْكُمْ (رواه مسلم، رقم 2963)

Lihatlah orang yang berada di bawah kalian, jangan lihat orang yang berada di atas kalian. Hal tersebut akan lebih membuat kalian tidak mengkufuri nikmat Allah.” [HR. Muslim, no. 2963. Terdapat makna hadits yang sama dalam riwayat Bukhari]

Ketiga: Hendaknya diketahui bahwa seorang ayah diperintahkan secara syar’i untuk memberi nafkah kepada isteri anak-anaknya sesuai kemampuan dan kelapangannya bukan berdasarkan permintaan dan keinginan anak-anaknya. Tidak boleh seorang isteri atau anak menuntut kepada suami atau ayahnya sesuatu yang diluar kemampuan dan kekuatannya. Karena Allah Taala tidak memerintahkan hal itu, tapi hendaknya keluarganya menyesuaikan dirinya dan membatasi tuntutan mereka pada sesuatu yang dimiliki dan mampu dihadirkan sang ayah. Tidak halal bagi mereka untuk menyakitinya atau membebankan kepadanya sesuatu di atas kemampuannya, jangan juga mereka perlihatkan kekurangannya atau meratapi keadaan mereka serta tidak menghargai apa yang telah dia berikan seperti halnya dalam masalah nafkah.

Allah Taala berfirman,

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى * لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا 

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberi kelapangan sesudah kesempitan.” [Ath-Thalaq/65: 6-7]

Al Hafiz Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya;
“من وجدكم” Ibnu Abas, Mujahid dan lainnya berkata, maksudnya adalah kelapangan kalian.

Sedangkan makna ‘Hendaknya orang yang lapang memberikn nafkah sesuai kelapangannya’ Hendaknya ayahnya atau walinya memberikan nafkah kepada anak sesuai kemampuannya.

Adapun ayat

 وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا

Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. (QS. Ath-Thalaq: 8)

Itu seperti firman Allah Taala;

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [Al-Baqarah/2: 286]

Keempat :  Adapun sebab prilaku kejiwaan, maka dia terkait dengan apa yang disebut sebagai mental reaktif yang lebih mendominasi dirinya sehingga membuatnya kehilangan kendali terhadap dirinya sendiri. Sikap reaktif ini biasanya muncul ketika tegang dan stres juga dapat mencul lebih jelas lagi saat seseorang mengalami gangguan kepribadian yang telah mencapai ambang batas.

Jika ternyata nasehat serta pembinaan keimanan dan adab belum berhasil dan sikap dia sudah melampaui perkara yang seharusya wajib diwujudkan seorang anak kepada orang tuanya serta membuat orang tuanya tersiksa oleh permintaan-permintaan dan keinginan-keinginannya, maka kami nasehatkan untuk konsultasi ke psikiater untuk mendiagnosa kondisinya dan meneliti sebab munculnya gejala kejiwaan yang tampak padanya. Karena penting juga melakukan terapi penyembuhan selain terapi nasehat saat seseorang mengalami gangguan kejiwaan yang sangat berat.

Wallahu a’lam.

Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/11256-sebab-pembangkangan-anak-kepada-orang-tua-dan-penangangannya.html